Kembalinya Musa ke Mesir dan Diangkatnya Beliau Sebagai Nabi
Maka berangkatlah Musa menuju Mesir bersama keluarganya, sehingga ketika mereka merasakan kegelapan, mereka duduk beristirahat agar dapat melanjutkan perjalanan lagi. Ketika itu, cuaca sangat dingin sekali, maka Musa pun mencari sesuatu untuk dapat menghangatkan badannya, ia pun melihat api dari jauh, lalu meminta keluarganya menunggu di situ agar ia dapat mengambil sesuatu untuk menghangatkan badan. Maka Musa pun pergi mendatangi api itu dengan membawa tongkatnya.
Lebih dari seorang mufassir baik dari kalangan salaf maupun khalaf berkata, “Nabi Musa pergi menuju api yang dilihatnya itu dan setelah sampai di sana, didapatinya api itu menyala-nyala di sebuah pohon hijau, yaitu pohon Ausaj (jenis pohon yang berduri), apinya semakin menyala, kehijaun pohon itu juga semakin bertambah, maka Musa berdiri dalam keadaan takjub dan ketika itu pohon tersebut di kaki gunung di sebelah Barat dan berada di sebelah kanan Nabi Musa sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah Barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tidak pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan.” (QS. Al Qashshash: 44)
Lebih dari seorang mufassir baik dari kalangan salaf maupun khalaf berkata, “Nabi Musa pergi menuju api yang dilihatnya itu dan setelah sampai di sana, didapatinya api itu menyala-nyala di sebuah pohon hijau, yaitu pohon Ausaj (jenis pohon yang berduri), apinya semakin menyala, kehijaun pohon itu juga semakin bertambah, maka Musa berdiri dalam keadaan takjub dan ketika itu pohon tersebut di kaki gunung di sebelah Barat dan berada di sebelah kanan Nabi Musa sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah Barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tidak pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan.” (QS. Al Qashshash: 44)
Saat itu Musa berada di lembah yang bernama Thuwa, sambil menghadap kiblat, sedangkan pohon itu berada di kanannya di sebelah Barat, lalu Tuhannya memanggilnya,
“Wahai Musa.–sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, maka lepaskanlah kedua sandalmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci; Thuwa.– Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).–Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.– Segungguhnya hari kiamat itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar setiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.–Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu menjadi binasa.” (QS. Thaahaa: 11-16)
Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla bertanya kepadanya tentang tongkat yang dipegangnya –dan Dia lebih tahu-, Musa menjawab, “Ini adalah tongkatku, aku bersandar kepadanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” (QS. Thaahaa: 18)
Maka Allah menyuruhnya untuk melempar tongkatnya. Musa pun melemparnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang besar dan bergerak dengan cepat, lalu Musa berpaling lari karena takut, lalu Allah menyuruhnya kembali dan tidak takut, karena ular itu akan kembali menjadi tongkat seperti sebelumnya, kemudian Musa mengulurkan tangannya ke ular itu untuk mengambilnya, ternyata ular itu langsung berubah menjadi tongkat.
Nabi Musa kulitnya berwarna coklat, lalu Allah memerintahkan kepadanya untuk memasukkan tangannya ke dalam bajunya kemudian mengeluarkannya, Musa pun melakukannya, lalu tampaklah warna putih yang jelas. Keduanya Allah jadikan sebagai mukjizat untuk Nabi Musa ‘alaihissalam di samping mukjizat-mukjizat yang lain untuk menguatkan kerasulannya ketika berhadapan dengan Fir’aun dan para pembesarnya.
Dakwah Nabi Musa ‘Alaihissalam kepada Fir’aun
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa pergi mendatangi Fir’aun untuk mendakwahinya, maka Nabi Musa mau memenuhinya, akan tetapi sebelum ia berangkat, ia berdoa kepada Tuhannya meminta taufiq dan meminta kepada-Nya bantuan, Musa berkata, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku–Dan mudahkanlah untukku urusanku,–Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,–Agar mereka mengerti perkataanku,–Dan Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,–(yaitu) Harun, saudaraku,–Teguhkanlah dengannya kekuatanku,–Dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku,–agar kami banyak bertasbih kepada Engkau,–dan banyak mengingat Engkau.–Sesungguhnya Engkau adalah Maha melihat (keadaan) kami.” (QS. Thaahaa: 25-35)
Maka Allah mengabulkan permohonannya, lalu Musa ingat bahwa ia pernah membunuh orang Mesir, ia takut kalau nanti mereka membunuhnya, maka Allah menenangkannya, bahwa mereka tidak akan dapat menyakitinya sehingga Musa pun tenang (lihat Al Qashash: 35).
Musa pun melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan memberitahukan kepada Harun apa yang terjadi antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Harun ikut serta menyampaikan risalah kepada Fir’aun dan kaumnya dan membantunya mengeluarkan Bani Israil dari Mesir, maka Harun pun bergembira atas berita itu, ia pun ikut berdakwah bersama Musa.
Fir’aun adalah seorang yang kejam dan berlaku zalim terhadap Bani Israil, sehingga Nabi Musa dan Nabi Harun berdoa kepada Allah agar menyelamatkan keduanya dari tindakan aniaya dari Fir’aun, lalu Allah Ta’ala berfirman meneguhkan hati keduanya, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”.–Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan Katakanlah, “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan Kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.–Sesungguhnya telah diwahyukan kepada Kami bahwa siksa itu (ditimpakan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (QS. Thaahaa: 46-48)
Maka ketika Musa dan harun berangkat, mulailah keduanya mengajak mereka kepada Allah dan berusaha membawa Bani Israil dari penindasan Fir’aun, akan tetapi Fir’aun mengejek keduanya dan mengolok-olok apa yang mereka berdua bawa serta mengingatkan Musa, bahwa dirinyalah yang mengurus Musa di istananya dan terus membesarkannya hingga ketika dewasa Musa membunuh orang Mesir dan pergi melarikan diri. Maka Nabi Musa ‘alaihissalam berkata, “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.–Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul.—Budi baik yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil.” (Lihat Asy Syu’araa: 20-22)
Fir’aun pun bertanya, “Siapa Tuhan semesta alam itu?”
Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”.
Fir’aun berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?”
Musa berkata (pula), “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu”.
Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila.”
Musa berkata, “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada di antara keduanya; (Itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.”
Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selainku, aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (Lihat Asy Syu’araa: 23-29)
Kemudian Nabi Musa menawarkan kepadanya bukti yang membenarkan kerasulannya. Maka Fir’aun meminta ditunjukkan buktinya jika Musa memang benar. Nabi Musa pun melempar tongkatnya dan berubahlah tongkat itu menjadi ular yang besar sehingga orang-orang terkejut dan takut terhadap ular itu. Kemudian Musa menjulurkan tangannya ke ular itu, maka ular itu kembali seperti biasa menjadi tongkat. Kemudian Musa memasukkan tangannya ke leher bajunya, lalu ia keluarkan, tiba-tiba tampak warna putih berkilau.
Perlawanan Nabi Musa ‘Alaihissalam dengan Para Penyihir dan Masuk Islamnya Para Penyihir
Ketika ditunjukkan bukti-bukti itu, Fir’aun malah menuduhnya sebagai penyihir, lalu ia meminta untuk dikumpulkan para penyihirnya dari segenap tempat untuk melawan Musa. Maka ditetapkanlah hari raya sebagai hari pertunjukan itu yang dimulai pada waktu dhuha di tempat yang lapang di hadapan Fir’aun. Fir’aun juga mengumumkan pertemuan itu kepada kaumnya agar mereka semua hadir menyaksikan.
Tibalah hari pertunjukan itu dalam keadaan ramai dihadiri oleh banyak manusia, mereka ingin melihat apakah Musa yang menang ataukah para penyihir?
Sebelum Fir’aun keluar mendatangi Musa, ia berkumpul terlebih dahulu dengan para penyihir dan memberikan dorongan kepada mereka, dimana jika mereka menang, maka ia akan memberikan berbagai kesenangan berupa harta dan kedudukan.
Sesaat kemudian, Fir’aun keluar menuju lapangan pertandingan, sedangkan di belakangnya terdapat para penyihir, lalu ia duduk di tempat khusus baginya dengan didampingi para pelayannya, kemudian para penyihir berdiri di hadapan Nabi Musa dan Harun.
Selanjutnya Fir’aun mengangkat tangannya untuk memberitahukan bahwa pertandingan siap dimulai, lalu para penyihir menawarkan dua hal kepada Musa, yaitu apakah Musa yang pertama kali melempar tongkatnya ataukah merela lebih dulu? Maka Nabi Musa membiarkan mereka dulu yang memulai.
Para penyihir pun melempar tali dan tongkat, sambil menyihir mata manusia sehingga menurut pandangan manusai bahwa tongkat dan tali tersebut berubah menjadi ular yang gesit dan bergerak di hadapan mereka, sehingga orang-orang takut terhadapnya, bahkan Nabi Musa dan Harun merasa takut terhadapnya, lalu Alllah memberikan wahyu kepada Musa agar ia tidak takut dan melempar tongkatnya, maka Nabi Musa dan saudaranya (Nabi Harun) tenang karena perintah Allah itu.
Nabi Musa pun melempar tongkatnya, maka tongkat itu berubah menjadi ular yang besar yang menelan tali para penyihir dan tongkat mereka. Ketika para penyihir melihat apa yang ditunjukkan Nabi Musa‘alaihissalam, maka mereka pun mengakui, bahwa itu adalah mukjizat dari Allah dan bukan sihir. Kemudian Allah melapangkan hati mereka untuk beriman kepada Allah dan membenarkan apa yang dibawa Nabi Musa ‘alaihissalam, mereka pun akhirnya hanya bersujud kepada Allah sambil menyatakan keimanan mereka kepada Tuhan Musa dan Harun.
Ketika itulah Fir’aun semakin geram dan mulai mengancam para penyihir, ia berkata kepada mereka, “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.” (QS. Thaahaa: 71)
Meskipun begitu, para penyihir tidak takut terhadap ancaman itu setelah Allah mengaruniakan keimanan kepada mereka, mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat) yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja.–Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).– Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.–Dan barang siapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka Itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang Tinggi (mulia),–(yaitu) surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (QS. Thaahaa: 72-76)
Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar