Pages

Subscribe:

Labels

05/11/13



“Cuci… cuci sendiri, makan… makan sendiri… ehei”
Nyanyiku terus-menerus, akhir-akhir ini banyak orang-orang yang memanggilku ke rumah mereka, untuk makan, tentu saja bukan, mereka hanya memintaku untuk mencucikan baju mereka, mudah-mudahan ini merupakan sebuah keuntungan, atau mungkin sebaliknya, ah terserahlah… yang penting aku masih bisa mendapatkan uang dan ucapan I love you [Aku mencintaimu] eh, hehe… keceplosan.
“Yang itu sudah selesai?” Tanya Mbak Karis salah satu orang yang memanggilku untuk mencuci baju, atau bisa dikatakan, salah satu pelangganku.
“Sedikit lagi” Jawabku sambil terus mencuci tumpukkan baju ini. Dengan gesit dan cekatan, kupercepat gerakanku, tak mau membuat Mbak Karis menunggu lebih lama lagi.
Keringat bercucuran di dahiku, segera ku lap dengan menggunakan punggung tanganku, senyum terukir di wajahku, akhirnya selesai juga, segera ku bangkit dari dudukku, kubersihkan tanganku dari sisa-sisa sabun, kubalikkan tubuhku menghadap Mbak Karis, dengan sopan kubungkukan badanku sesaat untuk berterima kasih, kulihat dia hanya tersenyum dan memberiku beberapa uang, segera kuambil, ini dia upahku, batinku.
Aku pun pamit pada Mbak Karis untuk segera ke rumah, lagi-lagi dia hanya tersenyum padaku, dia memang sangat baik bukan, segera kulangkahkan kakiku keluar dari rumahnya, dengan langkah bak waria maco, aku pun segera berlari menuju rumahku.
Siang ini matahari begitu menyengat, membuat orang-orang tak mau berlama-lama di luar, metode menjaga keputihan kulit hem… hah dasar orang Sukamara, tapi ternyata, masih ada orang-orang yang bermain di luar, itu pun cuma anak-anak sepertiku, dan sudah kuduga, mereka hitam.
Kicauan burung menyambutku saat aku sudah tepat berada di depan rumahku, membuatku semakin bersemangat untuk menjalani hari ini, tanpa basa-basi lagi akupun langsung… kentut, hehe, sudah tidak tahan dari tadi.
“Oh, Bagan… kau sudah pulang…” Ucap ayahku yang tiba-tiba muncul di belakangku, untung saja aku sudah selesai kentut.
“Eh…i.. iya” Ucapku dengan senyuman merekah, dengan tergesa-gesa kurogoh sakuku, mengambil upah cucian yang kudapat kemarin, tentu saja dengan tingkatan uang yang kencang, baru, rapi, berkilau, harum, elegan, hanya saja berwarna coklat buruk, jiahh… bagus bukan.
Segera kuberikan uang tersebut kepada ayahku, dia hanya tersenyum lembut dan secepat tuyul mengambil uang itu dari tanganku, subhanallah… dengan gaya yang lentik dan slow motion (Gerakan lambat) pula ah… membuatku ingin kentut saja.
Jika kalian bertanya kenapa aku tidak memberikan uang pendapatanku hari ini, syuut… diam saja. Mungkin karena melihat gelagatku yang mencurigakan, tiba-tiba saja ayahku menjulurkan tangannya kepadaku seperti berkata, ‘give me your money, beybeh’ #Beybeh maksudnya baby# (‘Berikan aku uangmu, sayang’).
Dan hal itu langsung membuatku membantin, ‘Like a bad boy’,(‘Seperti lelaki jahat’), dan mau tak mau, ikhlas tak ikhlas, ya sudahlah, langsung kuberikan kepada ayahku uang pendapatanku hari ini, membuat dia kembali tersenyum lembut.
“Terima kasih nak, kamu ini, sudah kecil, hitam pula, eh… hehe.. maksud ayah…” Ucap ayah yang segera kuputus.
“Hehe, sudahlah yah, ayah juga hitam, eh… maksud Bagan, sudah seharusnya Bagan begini, dan emm lebih baik kita masuk ke rumah, nanti ayah bisa tambah sakit, ayo…”
Segera kupapah ayahku memasuki rumah kami yang sangat menyedihkan ini, tak apalah, yang penting rumah ini masih bisa ditempati.
Namaku Bagan, ya… setidaknya orang-orang sering memanggilku begitu, mungkin jika aku sekolah sekarang, aku sudah kelas 5 SD, itu artinya, aku tidak sekolah sekarang, banyak faktor yang menyebabkan itu, mulai dari ekonomi keluargaku yang memang berada di garis miskin, juga diriku yang memang harus mencari nafkah sehari-harinya, itu karena…
Ayahku, dia tidak bisa bekerja lagi, sebuah penyakit yang aneh menyerangnya, oleh karena itu, akulah yang harus bekerja sekarang, dan penyakit ayahku itu sangat aneh menurutku, penyakit itu membuat kulit ayahku hitam kusam, dan kulitnya berbau menusuk, dan hal itulah yang menyebabkan kami sering dihina, di caci maki, dan ah… keadaan ayahku tidak sampai disitu, kakinya pun buntung, gara-gara saat dulu masih bekerja menjadi kuli bangunan, bisa dibilang kecelakaan kerja, membuatnya harus berjalan menggunakan tongkat.
Dan yang membuatku semakin sayang pada ayahku, dia tidak pernah sedikit pun mengeluh, tak jarang pula dia ingin membantuku bekerja, tentu saja kularang, sungguh tak tega aku melihat keadaan ayahku sekarang, dan dengan itu, aku bertekad membuat ayahku bahagia dan tak melarat seperti ini, aku berjanji.
Setelah merebahkan tubuh ayahku di atas kasur yang tak terlalu bagus, hanya elegan, ada miniatur kecoa pula, saat kita memakai kaca mata hitam untuk melihat kecoa itu, tentu saja, yang terjadi adalah, semua jadi gelap, eh maksudku, ah sudahlah.
Aku pun kembali keluar rumah, jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB, dan itu artinya, ‘Si Bolang’ sudah mulai, ah lupakan tentang bolang, kembali ke pembicaraan, seperti biasa, anak-anak akan pulang dari sekolah, aku pun duduk di salah satu kursi di depan rumahku, tak perlu menunggu lama, anak-anak berseragam berjalan dengan riang, berjalan menuju tujuan masing-masing, ada yang terlihat berjalan dengan riang, ada juga yang berjalan sambil bercanda.
Baju itu, seragam itu, peralatan sekolah itu, kapan aku bisa memilikinya?.
“Bagan…”, Panggil seseorang yang membuat lamunanku buyar seketika bak burung-burung perkutut yang telah lepas dari sangkarnya, artinya… luar biasa, lamunanku 3D.
Ternyata teman-temanku, mereka pun menghampiriku dan duduk di sampingku, tak jauh berbeda denganku, teman-temanku ini juga lebay dan alay, ah maksudku mereka juga tak bisa berkencan dengan Mbak Cantika, haihsss… tepatnya berekonomi rendah sepertiku, dan juga sangat ingin bersekolah sepertiku, nah baru benar.
Seperti hari-hari sebelumnya, kami selalu berkumpul untuk melakukan Sholat Zuhur bersama, dan ternyata azan sudah berdendang, kami pun segera pergi menuju masjid terdekat.
Akhirnya, setelah pulang dari masjid, kami kembali berkumpul di rumahku, dengan tema, ‘curhat yuk~’.
“Kalian tahu tidak, hari ini aku sungguh sial…” Ucap Nahir salah satu temanku, membuka percakapan.
“Memangnya ada apa?”,Tanya Usain.
“Yah… kau tahu tidak, pagi tadi hehe, tanpa sengaja aku melihat buah mangga montok yang menggugah iman, setelah itu, aku melirik kiri dan kanan lalu berkata, ‘aman’…” Ucap Nahir yang tiba-tiba dipotong Saipudin.
“Wah, kamu maling ya itu mangga?” Nahir pun menjawab.
“Tentu saja, Nahir gitu loh, dan dimohon jangan memotong, nah… aku sudah mengambil ancang-ancang dari situ, lalu 1.. 2… 3…”
“Kamu panjat itu pohon?” Tanya Juki yang tiba-tiba memotong, membuat Nahir agak kesal.
“Bukan, itu ancang-ancang untuk melepas sandal, nah baru kunaiki pohon mangga itu, saat sudah hampir sampai ke tempat tujuan tiba-tiba…” Ucap Nahir yang membuat kami deg-degan
“Tiba-tiba eh… nggak ada angin, nggak ada hujan, celanaku melorot, cepat-cepat kunaikkan lagi, eh tiba-tiba ada waria, parahnya lagi waria itu malah teriak ‘maling… maling’, kaget aku…” Ucap Nahir lagi yang membuat kami langsung syok.
“Lalu…” Ucapku.
“Beuh… langsung bukah (Lari) aku…” Jawabnya yang langsung membuat kami semua tertawa, memang selalu menyenangkan jika bersama-sama dengan teman-temanku.
“Itu akibatnya berbuat tak baik…” Timpalku.
Akhirnya teman-temanku berpamitan kepadaku, jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB waktunya untuk aku dan teman-temanku bekerja mencari uang.
Aku pun memasuki rumahku tepatnya kamar ayahku. Kulihat ayahku sedang makan, dengan sopan, akupun pamit kepada ayahku untuk menemui Pak Pahmi, tempatku bekerja sebagai nelayan, ayahku hanya menggangguk, dan setelah itu, aku sudah berlalu dari hadapannya.
Segera ku pergi ke jamban, tempat perahu Pak Pahmi berada, dan ternyata Pak Pahmi sudah tiba.
“Assalamualaikum pak…” Ucapku sambil mengatur napas karena berlari-lari tadi.
“Ah, walaikumsalam, nah seperti biasa, Bagan… karena kamu sudah datang, cepat naiki perahu yang berwarna biru di sana dan untuk yang lain, menggunakan perahu yang seperti biasa”, Perintah Pak Pahmi, kami semua langsung menggangguk, ya… bukan hanya aku yang bekerja disini, banyak anak-anak lain juga, yang kurasa berekonomi kurang sepertiku, kira-kira sudah 1 tahun aku bekerja disini, dan sepengetahuanku, Pak Pahmi ini sangat baik.
Saat aku ingin menaiki perahu, tiba-tiba Pak Pahmi mencegahku, aku hanya menurutinya.
“Nak… maaf mengganggu sebentar, bapak hanya ingin bertanya sebentar, emmm siapa nama ayah nak Bagan?, mungkin bapak bisa membantu ayahmu…” Ucap Pak Pahmi yang membuatku terdiam.
“Na…na… nama ayah Bagan… emm..” Ucapku terbata, entahlah… kenapa aku jadi gugup seperti ini, Pak Pahmi hanya ingin tahu nama ayahku, ayo Bagan, katakan.
“Emmm… nama ayah saya… Joni pak…” Ucapku dengan lirih, tetapi masih bisa didengar oleh Pak Pahmi, kulihat Pak Pahmi seketika terdiam, membuatku merasakan hal yang ganjil.
“Maksudmu Joni yang terkena penyakit aneh itu?”, Tanya Pak Pahmi dengan nada yang tak kusuka.
“I…iya…” Jawabku.
“Joni yang buruk rupa, jelek, dan menjijikkan itu?…”, Sekarang aku benar-benar tidak suka mendengarnya.
“Tidak, ayah saya tidak sejelek itu…” Ucapku.
“Oh kau benar, dia lebih jelek daripada itu, dan sekarang, kau ku pecat” Ucap Pak Pahmi, a…apa.
“Pak… jangan pak, jangan pecat saya pak, sangat sulit mencari orang sebaik bapak yang mau mempekerjakan saya, saya mohon pak, saya… saya akan bekerja dengan giat pak, hiks… saya juga akan mencari lebih banyak ikan setiap harinya pak, tapi saya mohon pak, jangan pecat saya” Ucapku memohon berlutut di hadapan Pak Pahmi.
“Cih… mana sudi aku mempekerjakan anak Joni sepertimu, dan jangan sentuh kakiku, aku tak mau penyakit ayahmu itu menular padaku..”, Ucap Pak Pahmi kasar, lalu dia pun menendang tubuhku, membuatku sedikit terpental dan meringis kesakitan.
Sambil menangis, aku pun berlalu dari jamban itu, menuju rumahku.
Hiks… tak apalah, masih ada pekerjaan lain yang bisa kulakukan, batinku mencoba menenangkan diri.
Setelah sampai di rumah, kuusap sisa air mata di pipiku, dengan langkah lesu, aku pun duduk, hah~ lebih baik pekara tentang dipecatnya aku oleh Pak Pahmi kusembunyikan saja, aku takut kalau-kalau ayah sedih mendengarnya. Menerawang ke atas awan, begitu terik dan menyilaukan, menarawang ke bawah, sunyi dan gelap, hah, keadaan itulah yang sedang kujalani sekarang, pasang surut kehidupan selalu aku dan ayah rasakan, huh… secepat inikah aku mengeluh, ayahku saja tak pernah mengeluh, semangat Bagan, kau masih bisa bekerja, melakukan apa yang bisa kau lakukan, semangat.
Kulangkahkan kembali kakiku, berjalan dengan penuh semangat, menebar-nebar cahaya dimana-mana, tak peduli ada kotoran yang kuinjak disana, yang besar maupun yang kecil bak upil yang centil, aku memang puitis bukan.
Berjalan dan terus berjalan, dan akhirnya, sampailah aku tepat di depan sebuah rumah Bibik Isma, kuketuk segera pintu rumah Bibik Isma, tak perlu menunggu lama, sang pemilik rumah pun keluar dari kediamannya.
“Oh… Bagan, tumben sekali kau datang jam segini”, Ucap Bibi Isma sambil membawaku duduk.
“Hehe, Bagan hanya ingin cepat bekerja”, Ucapku seadanya, Bibi Isma hanya mengangguk, lalu tiba-tiba, Bibik Isma mengeluarkan sebuah keranjang, ingin kuambil keranjang itu, tapi tiba-tiba, Bibik Isma berkata.
“Bagan, maaf bibik ingin bertanya sebentar, apakah Joni itu ayahmu?” Tanya Bibik Isma yang langsung membuatku kaget, dan terdiam.
“Ah… ternyata benar, mana mungkin Joni itu ayahmu, haha… Joni itu kan…”
“Joni itu ayahku” Potongku cepat, Susana hening seketika.
“Kau kupecat, kau tak perlu menjajakan kerupuk basahku lagi, dan, jangan pernah kau datang ke rumahku lagi”, Ucap Bibik Isma, lalu ingin berlalu dari hadapanku, kupotong cepat langkahnya.
“Kenapa kalian tidak suka dengan ayahku?” Tanyaku.
“Apalagi kalau bukan karena dia itu pembawa sial!” Ucap Bibik Isma.
“Tidak, kalian salah, ayahku bukan pembawa sial dia…”
“Dia apa, oh aku tahu, penyebar penyakit maksudmu?”,
Ucap Bibik Isma membuat tubuhku seketika memanas.
“Jangan lupakan juga, dia itu…”
“CUKUP!…” Teriakku dan segera kuberlalu dari hadapannya.
Besoknya…
“Bagan… BAGAN!” Teriak seseorang dari luar rumahku yang hampir saja membuat rumahku ini roboh.
“Iya… iya… aku keluar, aku keluar..” Ucapku dan ternyata…
“Kalian… ada apa?” Tanyaku lalu membawa 5 temanku itu duduk.
“Huh…huh…ah…hah…huh… kami… huh…hosh…hosh… tadi, huh…” Ucap Nahir dengan nafas yang sangat terengah-engah.
“Pelan-pelan…” Ucapku sambil menepuk bahunya pelan.
“Weh… bukannya tadi kau tidak ikut lari..” Ucap Saipudin.
“Eh… hehe…benar juga, dan Bagan, kita sangat ingin sekolah bukan?” Ucap Nahir, aku pun mengangguk.
“Kita juga bekerja mencari uang karena mungkin dengan itu kita bisa bersekolah bukan?” Ucapnya lagi yang membuatku kembali mengangguk.
“Kita juga punya cita-cita besar yang ingin kita wujudkan bukan?” Ucapnya lagi yang membuatku mengangguk lagi, ada apa memang?.
“Nah, dengan itu… emm apa Sai?” Tanya Nahir kepada Saipudin, PLAAKK…
“Au…” Ringis Nahir karena baru saja tangan kekar milik Saipudin mendarat tepat di jidatnya.
Jiahhhh… bikin tegang saja.
“Langsung ke inti saja, Bagan, kami ingin mengajakmu pergi mengambil buku-buku pelajaran, ada salah satu sekolah yang banyak membuangnya, bagaimana?, kau mau ikut tidak?, hehe.. kamu takut kau sibuk” .Ucap Juki membuatku langsung tersenyum masam.
“Tidak, aku tidak sibuk hari ini, karena… aku sudah di pecat dari semua pekerjaanku, emm, menjajakan kerupuk basah pun aku di pecat juga dan… ah sudahlah, sebaiknya kita cepat pergi, ayo” Ajakku, tetapi kulihat teman-temanku memasang wajah bersalah, membuatku langsung berkata.
“Sudah, tidak apa-apa, jadi, dimana sekolah itu…?”
“Disini?” Tanyaku saat kami sudah tepat berada di depan sebuah sekolah, Nahir menjawabku dengan anggukan, akhirnya kami pun segera berpencar untuk mencari buku tersebut.
Tiba-tiba…
“Bagan…”
Eh… dia…
“Apa yang sedang kau lakukan?” Ucapnya, harus kujawab kah pertanyaan ini, tidak.. ini tidak penting, segera ku ingin melangkahkan kakiku, tetapi dengan cepat, dia menghentikannya.
“Beginikah sikapmu terhadap kembaranmu sendiri?” Apa yang dia katakan, cih… menyebalkan, segera kubalikkan badanku yang tadinya membelakanginya, ku tatap dia tajam.
“Kenalkah aku denganmu?” Ucapku, terlihat dia tertawa, apa ini, tidak ada yang lucu.
“Kau ini, ini aku Bagus, kau ingat sekarang?” Ucapnya dengan senyuman manis, senyuman manis?, cih… dengan menggunakan seragam itu dia tersenyum manis, mungkin dia ingin menertawai kehidupanku sekarang ini.
“Oh… aku ingat, kau kembaranku, kembaranku dulu yang meninggalkan diriku dan ayahku, kau… kau yang meninggalakan kami bersama ibumu itu, ibumu yang, cih… buta kekayaan itu, saat itu ayah masih sakit, tapi wanita itu dengan angkuh berjalan membawamu pergi, pergi untuk tinggal bersama seorang pria yang kaya, meninggalkan kami yang… haishh… lupakan, umurku masih 2 tahun saat itu, tapi apa kau tahu, saat itu hatiku sakit, sakit melihat ayah yang menangis hanya karena wanita jahat itu, dan sekarang, kau tahu, apa yang kau perbuat pada kami sekarang?”
“Bagan… aku..”
“Kau membuat kami menderita seperti ini, kau tahu, rasanya sangat menyakitkan, sangat sakit…” Ucapku, dia hanya terdiam, hanya itu yang kau lakukan, cih… segera ku berlalu dari hadapannya, muak sekali aku jika harus berlama-lama disini.
Aku pun terus berjalan, tak kuhiraukan teman-temanku yang menatapku heran, aku hanya ingin terus berjalan dan jalan, tapi tiba-tiba, Nahir menghalangi jalanku.
“Aku ingin sendiri…” Ucapku lirih, dan kembali aku ingin berjalan, tetapi, Nahir tiba-tiba berbisik tepat di telingaku…
“Rumahmu… kebakaran…” .
DEG… DEG… DEG… ayah…
Segera kuberlari sekencang-kencangnya, sudah banyak orang-orang yang kutabrak, tidak kupedulikan hal itu, aku hanya terus berlari dan lari, pikiranku hanya satu, ayahku… dan aku hanya ingin segera sampai ke rumahku.
Peluh telah membanjiri wajahku, segera kulap dengan punggung tanganku tepat saat aku sudah berada di kerumunan orang yang terlihat mengerumuni kediamanku, api ternyata sudah memakan hampir seluruh rumahku, membuatku langsung menerobos kerumunan orang banyak, polisi sedang mengamankan kalau-kalau ada orang yang terlalu dekat dengan api itu, tapi… bukan itu yang kupermasalahkan.
Pemadam keabaran sama sekali tak terlihat, kuedarkan pandanganku ke seluruh arah, sebagian besar warga disini hanya memandangi api ini bak tontonan sirkus yang menegangkan, apa ini, tidak adakah sedikit keinginan hati nurani mereka untuk membantu memadamkan api ini, kulihat hanya sedikit orang-orang yang mencoba memadamkan api ini.
Aku mulai panik, ayahku masih di dalam, tak tahu apakah masih dalam keadaan hidup atau… tidak…
Dengan segenap tenaga, kucoba menerobos barisan tegap polisi-polisi, tapi nihil, aku pun tambah panik.
“Bukannya itu bocah anak Joni, hei bocah, CEPAT PERGI DARI SINI!, DASAR ANAK MISKIN”, Ucap salah satu polisi, ucapan itu…
“IYA, SUDAH SANA, JANGAN DEKATI API INI, TAK USAH KAU DATANGI AYAHMU SANG PEMBAWA SIAL ITU…”, Ucap salah satu polisi lain, membuat badanku bergetar.
“Wah… sudah dibilang jangan masuk, masih saja, DASAR TAK PUNYA ETIKA, SAMA SAJA DENGAN AYAHNYA YANG MENJIJIKAN ITU” Ucap seorang wanita dari kerumunan.
“Ayahku tidak menjijikan” Ucapku lirih.
“Oh benar juga, ayahmu itu hanya MANUSIA PEMBAWA SIAL!” Ucap wanita itu lagi, hinaan ini… ukh… aku tidak tahan lagi.
“KALIAN YANG TAK PUNYA ETIKA, MENERIAKKI SEORANG ANAK KECIL MISKIN YANG TAK TAHU APA-APA, HIKS… hatiku sakit mendengarnya…hiks” Runtuh sudah pertahananku, lelaki macam apa aku ini..
“YAA… DASAR TAK TAHU MALU, cepat hentikan kelakuan kalian, dia ini hanya anak kecil, dan… berhenti menghina orang, bisa jadi, kalian lah yang pembawa sial” Ucap… i…
“Kau tidak apa-apa Bagan..?” Ucapnya sambil menghampiriku, aku masih terus mengalirkan air mata.
“Ibu akan mencoba menyelamatkan ayah, jadi tunggu disini, oke” Ucapnya lalu mulai berdiri dari posisi jongkoknya yang langsung membuatku memegang tangannya, mencoba menghentikan gerkannya, dan itu berhasil.
“Hikss… jangan pergi, sudah cukup Bagan kehilangan seorang ayah, sudah cukup, Bagan tak mau kehilangan keluarga Bagan yang lain lagi, ibu…” Ucapku masih dengan lelehan air mata yang menggenang, terlihat dia terdiam, dan tiba-tiba memelukku.
“Maafkan ibu Bagan, ibu takkan meninggalkanmu lagi, ibu janji…”
“Bagan… Bagan… emm, apa Bagan masuk sekolah?” .
“Saya disini bu… maaf saya telat..” Ucapku dan segera duduk di samping Bagus.
Ya, sejak tragedi kebakaran 10 hari yang lalu, aku sudah tinggal bersama ibuku, dan juga bersama Bagan, aku pun tak melarat lagi.
Dan sejak itu pula, sumbangan untuk orang miskin semakin besar, sampai-sampai dibukanya sekolah gratis, nah disitulah teman-temanku bersekolah, ah akhirnya aku bisa mewujudkan impianku mulai dari sekarang, terima kasih bu, ayah, Allah… kebahagiaan akan datang kepadaku dari sini.
“Nah. Keluarkan buku matematika kalian, sebentar lagi kita akan belajar matematika, dan segera juga mengumpulkan pr matematika ya…” Ucap Bu guru membuat yang lain menyahut iya, sedangkan aku…
“AAAPAAA…!”

0 komentar:

Posting Komentar